Header Ads

Tangisan Membawa Tawa Ria





Photo: DOC


Kala mentari bersinar di atas Nbulumbulu (Gunung Gergaji), menyinari bumi Intan Jaya yang masih diselimuti kabut dingin abadi, Amos bergegas dari tempat tidurnya hendak siap diri ke sekolah. Ia anak yang berasal dari keluarga yang bisa dikatakan cukup lemah untuk memegang tali kehidupan mereka. Hanyalah hasil kebun yang bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Dari hasil itu pula sekolah Amos tertopang walau kadang kedua orang tuanya mendapat surat peringatan karena kekurangan uang sekolah. Dengan keadaan seperti itu namun ia berhasil tamat dari suatu Sekolah Dasar Katolik di daerah pedalaman Intan Jaya.
Suasana daerah Intan sangat dingin, apalagi kotanya dikelilingi oleh berbagai gunung yang tinggi.Intan bagaikan genangan air biru dalam wada kuali.Amos bercita-cita menjadi seorang pegawai negeri. Setelah tamat Sekolah Dasar ia tidak melanjutkan sekolahnya namun ia tinggal bersama orangtuanya sambil menanam di kebun untuk mengumpulkan dana. Selama satu tahun ia mencari dana untuk biaya sekolah lanjutannya. Hari demi hari ia lewati namun keinginannya untuk sekolah tidak terbawa dinginnya alam Intan. Ia tak mau citanya membeku di atas gunung salju abadi. Ia selalu terus memanasinya walau orangtuanya kadang katakan, “Tak usah lanjut saja, nak. Orangtua tak sanggup”.Ia cukup lama berpikir untuk teruskan sekolah atau tidak. Hidupnya sangat susah dan bersengsara secara batiniah. Dari segi ekonominya pun sangat sengsara.Ia putus asa dengan kata-kata orangtuanya itu. Namun Ia mau berjuang dari kekurangan itu, dari kesengsaraan itu. Ia berpikir dalam benaknya, “Saya tak boleh seperti orangtua. Keluargaku harus bangkit dari segala derita hidup ini.Saya harus lanjutkan sekolahku”.
Suatu ketika kota Intan mulai dipeluki sang musim kemarau. Sungai Wabu dan Dogabu; serta sungai Kemabu dan Weabu semakin menipis. Amos berniat berjalan ke daerah kota yang jauh dari daerah Intan Jaya. Ia berjalan kaki karena dana tidak mencukupi jika berangkat lewat pesawat udara. Selama empat hari tiga malam ia berjalan melewati lembah-gunung, seberangi kali-sungai, dan naik-turun gunung sampai akhirnya ia tiba juga di kota dimana ia hendak lanjutkan sekolahnya itu. Gelap dan terang dia tak kenal, lelah dan lapar dia alami.
Dalam perjalanan ketemu barang yang bisa dimakan ia makan. Sampai dia tiba di kota yang ia maksudkan itu. Dalam perjalanan ke kota itu ia sempat diserang oleh binatang buas namun berkat Tuhan, kelincahannya dan kekuatan alam lain yang selalu menyelamatkannya. Doa selalu ia lambungkan kepada Tuhan agar semua misinya ini dapat sukses. Sayang, dalam kenyataannya ia sungguh menderita, karena di kota itu ia harus berjuang seorang diri. Ia sudah mendatangi beberapa rumah keluarga agar ia diterima tinggal bersama mereka, namun selalu ditolak.
Akhirnya ia berusaha membuat sebuah gubuk dari bambu dan daun-daun kelapa. Untuk menghilangkan rasa lapar dan hausnya, ia mendatangi sebuah rumah makan untuk melamar menjadi pembantu cuci piring. Dan syukur kepada Tuhan ia diterima. Dengan demikian, sepulang sekolah ia selalu membantu cuci piring kemudian ke tempat tinggalnya dan pada sore harinya ia datang lagi untuk cuci piring bekas makan malam.
Setiap pagi ia makan buah kelapa yang tua dan kadang tidak makan. Dan juga bakar ubi singkong atau ubi petatas yang ia tanam di sekitar gubuknya itu. Siang dan malam harilah ia bisa mendapat berkat. Kadang bosnya sering memberinya beberapa lembar daun harga tukar. Sedikit demi sedikit ia menabung dari hasil itu. Ia sangat bersyukur dan semakin hari ia bekerja penuh giat dan taat pada bosnya walau kata-kata pedas kadang mengelamkannya. “Saya sebatang kara di negeri lain jadi mau lari kepada siapa? Hanyalah pada Tuhan dan tetap bertahan menerima segala penderitaan ini.kegagalan adalah kunci kesuksesan” pikirnya. Ia tak lupa tugas utamanya yakni belajar. Pada malam hari sebatang lilin menemaninya dalam gubuk itu untuk menerangi buku-buku catatannya yang ia baca. Setiap hari terus demikian.
Ia berjalan tanpa kenal waktu. Hari terus berganti minggu. Minggu juga tak mau kalah terus berganti bulan, bulan pun terus bergulir menjembut tahun dan akhirnya satu tahun dengan tahun yang lain datang dan pergi hingga ia berada pada tingkat tiga sebuah lembaga pendidikan; SMU swasta di Nabire. Ia tak pernah ada keinginan untuk ke tanah kelahirannya. Memang ia sangat rindu dengan orangtuanya dan sanak saudaranya yang lain.
Usianya sudah semakin siang hingga berada pada tingkat perguruan tinggi. Penderitaan selalu meliliti hidupnya, namun ia sungguh taat menerima semua itu. Air mata hidupnya seolah-olah menjadi teman seperjuangannya.Ia selalu mencari jalan keluar untuk biaya hidupnya dan selalu terpenuhi walau diluar dari yang diinginkannya dan lembaga pendidikannya. Tetapi herannya bisa demikian? Ya, Tuhan itu tidak buta.Tuhan itu maha segala-galanya.
Telah sekian hari, minggu, bulan, dan tahun ia berjuang, di atas gelombang derita; tangisan jadi teman hidupnya hanya untuk mencari lembar-lembar kertas yang bertuliskan IJAZAH. Kini tiba saatnya untuk ia harus wisuda. “Tuhan terima kasih atas anugrah dan berkat yang Kau limpahkan dalam hidupku,” syukurnya pada Tuhan.“Memang benar dan kini aku menjadi tahu karena saya alami sendiri bahwa Sengsara Membawa Kebahagiaan. Semoga berkat-Mu ini dapat saya gunakan demi keluarga dan demi banyak orang serta negeriku, ”lanjutnya dalam kalbu doa. Dulunya ia sungguh menderita demi mencapai kesuksesan dan kesuksesan itu sudah di tangannya namun baru seberapa. Oleh karena itu, ia harus berjuang lagi untuk mengabdi masyarakat dan daerahnya.
Ketika semua perjuangan di negeri lain usai, ia berangkat ke kota asalnya; Intan Jaya. Sesampai di sana Ayah-Ibundanya telah tiada. Sungguh sedihlah hatinya; terasa dibebani sekian ton besi baja. Terasa sia-sia, ia harus meninggalkan segala sesuatu dan harus ke negeri seberang demi kebahagiaan keluarganya. “Tuhan, mengapa semua ini terjadi pada diriku? Haruskah aku mengali lubang dan kuburkan saja hasil perjuanganku ini?Karena terasa semua ini sia-sia saja.Kau ambil mereka semua dariku.Tiada satu yang Kau tinggalkan untuk turut merasakan bahagia bersamaku. Biarlah Tuhan, itu keputusan-Mu. Sekarang aku menjadi milik semua orang. Saya akan berkarya bagi banyak orang; demi masyarakat dan negeri ini. Terima kasih Tuhanku”, seru Amos dalam untaian doanya.
Perjuangannya hendak membahagiakan orangtuanya namun sayang, itu semua sia-sia belaka. Karena orangtuanya sudah menghadap Tuhan kalau dulu semasih ia bertarung hidup di atas gelombang pendidikan. Sekarang ia menjadi sadar bahwa selama ia berada di negeri seberang, ia selalu berhadapan dengan salib hidupnya dan akhirnya salib itu adalah jalan keselamatan hidupnya. Dengan salib itulah ia menemukan keberhasilan yang adalah kebahagiaan dan keselamatan bagi hidupnya, anggota keluarganya, masyarakat dan daerahnya.

Penulis: Adol S

Geen opmerkings nie

Kami menghargai masukan dari anda. Mohon beri tahukan kepada kami apabila terdapat kekeliruan untuk perbaikan blog kami.

Aangedryf deur Blogger.